Dzikir Manaqib Syech Abdul Qadir Al Dzaelani
AL-ALIM
Ada orang yang memperoleh hal sekali saja dan dikuasai oleh hal dalam waktu yang tertentu saja dan ada juga yang memperolehnya kekal di dalam hal. Hal yang terus menerus atau kekal dinamakan wisal yaitu penyerapan hal secara berterusan, kekal atau baqa. Orang yang mencapai wisal akan terus hidup dengan cara hal yang berkenaan. Hal-hal (ahwal) dan wisal dapat digolongkan menjadi lima jenis:
1 : Abid:
Abid adalah orang yang dikuasai oleh hal atau zauk yang membuat dia merasakan secara mendalam bahwa dirinya hanyalah seorang hamba yang tidak memiliki apa-apa dan tidak mempunyai sebarang daya dan upaya untuk melakukan sesuatu. Kekuatan, keupayaan, bakat-bakat dan apa saja yang ada dengannya adalah daya dan upaya pemberia dari Allah s.w.t. Semuanya itu adalah karuniaan-Nya semata-mata. Allah s.w.t sebagai Pemilik yang sebenar-benarnya, apabila Dia memberi, maka Dia berhak mengambil kembali pada masa yang Dia kehendaki. Seorang abid benar-benar bersandar kepada Allah s.w.t sehingga sekiranya dia melepaskan sandaran itu dia akan jatuh, tidak berdaya, tidak dapat bergerak, karena dia benar-benar melihat dirinya kehilangan apa yang datangnya dari Allah s.w.t. Hal atau suasana yang menguasai hati abid itu akan melahirkan amal atau kelakuan sangat kuat beribadat, tidak memperdulikan dunia dan isinya, tidak mengambil bagian dalam urusan orang lain, sangat takut berjauhan dari Allah s.w.t dan suka berdzikir. Dia merasakan apa saja yang selain Allah s.w.t akan menjauhkan dirinya dari Allah s.w.t.
2 : Asyikin:
Asyikin ialah orang yang mendapat nikmat dengan sifat Keindahan Allah s.w.t. Rupa, bentuk, warna dan ukuran tidak menjadi soal kepadanya karena apa saja yang dilihatnya menjadi cermin dalam dia melihat Keindahan serta Keelokan Allah s.w.t di dalamnya. Amal atau kelakuan asyikin ialah gemar merenung alam maya dan memuji Keindahan Allah s.w.t pada apa yang disaksikannya. Dia dapat duduk menikmati keindahan alam beberapa jam tanpa merasa jemu dan bosan. Kilauan ombak dan titikan hujan memukau pandangan hatinya. Semua yang kelihatan adalah warna Keindahan dan Keelokan Allah s.w.t. Orang yang menjadi asyikin tidak memperdulikan lagi adab dan peraturan masyarakat. Kesadarannya bukan lagi pada alam ini. Dia mempunyai alamnya sendiri yang di dalamnya hanyalah Keindahan Allah s.w.t.
3 : Muttakhaliq:
Muttakhaliq adalah orang yang mencapai yang Haq dan bertukar sifatnya. Hatinya dikuasai oleh suasana Qurbi Faraidh atau Qurbi Nawafil. Dalam Qurbi Faraidh, muttakhaliq merasakan dirinya adalah alat dan Allah s.w.t menjadi Pengguna alat. Dia melihat perbuatan atau kelakuan dirinya terjadi tanpa dia rancang dan campur tangan, bahkan dia tidak mampu mengubah apa yang mau terjadi pada kelakuan dan perbuatannya. Dia menjadi orang yang berpisah dari dirinya sendiri. Dia melihat dirinya melakukan sesuatu perbuatan seperti dia melihat orang lain yang melakukannya, yang dia tidak berdaya mengikuti atau mempengaruhinya. Hal Qurbi Faraidh adalah dia melihat bahawa Allah s.w.t melakukan apa yang Dia kehendaki. Perbuatan dia sendiri adalah gerakan Allah s.w.t, dan diamnya juga adalah gerakan Allah s.w.t. Orang ini tidak mempunyai kehendak sendiri, tidak ada ikhtiar dan tadbir. Apa yang mengenai dirinya, seperti perkataan dan perbuatan, berlaku secara spontan. Kelakuan atau amal Qurbi Faraidh ialah bercampur-campur di antara logika dengan non logika, mengikuti adat dengan merombak adat, kelakuan alim dengan jahil. Dalam penjelasan yang dapat diberikannya ialah, “Tidak tahu! Allah s.w.t berbuat apa yang Dia kehendaki”.
Dalam suasana Qurbi Nawafil, pula muttakhaliq melihat dengan mata hatinya sifat-sifat Allah s.w.t yang menguasai bakat dan keupayaan pada sekalian anggotanya dan dia menjadi pelaku atau pengguna sifat-sifat tersebut, yaitu dia menjadi khalifah dirinya sendiri. Hal Qurbi Nawafil ialah berbuat dengan izin Allah s.w.t kerana Allah s.w.t mengurniakan kepadanya kebolehan untuk berbuat sesuatu. Contoh Qurbi Nawafil adalah kelakuan Nabi Isa a.s yang membentuk rupa burung dari tanah liat lalu menyuruh burung itu terbang dengan izin Allah s.w.t, juga kelakuan Isa a.s menyeru orang mati supaya bangkit dari kuburnya. Nabi Isa a.s melihat sifat-sifat Allah s.w.t yang diizinkan menjadi bakat dan kemampuan beliau a.s, sebab itu beliau tidak ragu-ragu untuk menggunakan bakat tersebut menjadikan burung dan menghidupkan orang mati dengan izin Allah s.w.t.
4 : Muwahhid:
Muwahhid fana dalam zat, zatnya lenyap dan Zat Mutlak yang menguasainya. Hal bagi muwahhid ialah dirinya tidak ada, yang ada hanya Allah s.w.t. Orang ini telah putus hubungannya dengan kesadaran basyariah dan sekalian wujud. Kelakuan atau amalnya tidak lagi seperti manusia biasa karena dia telah terlepas dari sifat-sifat kemanusiaan dan kemakhlukan. Misalkan dia bernama Ahmad, dan jika ditanya kepadanya di manakah Ahmad, maka dia akan menjawab Ahmad tidak ada, yang ada hanyalah Allah! Dia benar-benar telah lenyap dari ke‘Ahmad-an’ dan benar-benar dikuasai oleh ke‘Allah-an’. Ketika dia dikuasai oleh hal dia terlepas daripada beban hukum syarak. Dia mungkin menyatakan, “Akulah Allah! Maha Suci Aku! Sembahlah Aku!” Dia telah fana dari ‘aku’ dirinya dan dikuasai oleh kewujudan ‘Aku Hakiki’. Walau bagaimana pun sikap dan kelakuannya dia tetap dalam keridhoan Allah s.w.t. Apabila dia tidak dikuasai oleh hal, kesadarannya kembali dan dia menjadi ahli syariat yang taat. Perlu diketahui bahwa hal tersebut tidak boleh dibuat-buat dan orang yang dikuasai oleh hal tersebut tidak berupaya menahannya. Ahli hal tersebut karam dalam lautan Allah s.w.t. Bila dia menyatakan , “Akulah Allah!” bukan berarti dia mengaku telah menjadi Tuhan, tetapi dirinya telah fana, apa yang terucap melalui lidahnya sebenarnya adalah dari Allah s.w.t. Allah s.w.t yang mengatakan Dia adalah Tuhan dengan menggunakan lidah muwahhid yang sedang fana itu.
Berbeda pula dengan golongan mulhid. Si mulhid tidak dikuasai oleh hal tersebut, tidak ada zauk, tetapi berkelakuan dan bercakap seperti orang yang di dalam zauk. Orang ini dikuasai oleh ilmu tentang hakikat bukan mengalami hakikat secara zauk. Si mulhid membuang syariat serta beriman berdasarkan ilmu semata-mata. Dia berpuas hati berbicara tentang iman dan tauhid tanpa beramal menurut tuntutan syariat. Orang ini berbicara sebagai Tuhan sedangkan dia di dalam kesadaran kemanusiaan, masih terbawa dengan keinginan hawa nafsu. Orang-orang sufi sepakat mengatakan bahwa siapapun yang mengatakan, “Ana al-Haq!” sedangkan dia masih sadar tentang dirinya maka orang tersebut adalah sesat dan kufur!
5 : Mutahaqqiq:
Mutahaqqiq ialah orang yang setelah fana dalam zat turun kembali kepada kesadaran sifat, seperti yang terjadi kepada nabi-nabi dan wali-wali demi melaksanakan amanat sebagai khalifah Allah di atas muka bumi dan kehidupan dunia yang wajib diurusnya. Dalam kesadaran zat seseorang tidak keluar dari khalwatnya dengan Allah s.w.t dan tidak peduli tentang keruntuhan rumah tangga dan kehancuran dunia seluruhnya. Sebab itu orang yang demikian itu tidak boleh dijadikan pemimpin. Dia mesti turun kepada kesadaran sifat barulah dia boleh memimpin orang lain. Orang yang telah mengalami kefanaan dalam zat kemudian disadarkan dalam sifat adalah benar-benar pemimpin yang dilantik oleh Allah s.w.t menjadi Khalifah-Nya untuk memakmurkan makhluk Allah s.w.t dan memimpin umat manusia menuju jalan yang diridhai Allah s.w.t. Orang inilah yang menjadi ahli makrifat yang sejati, ahli hakikat yang sejati, ahli tarekat yang sejati dan ahli syariat yang sejati, berkumpul padanya dalam satu kesatuan yang menjadikannya Insan Rabbani. Insan Rabbani peringkat tertinggi ialah para nabi-nabi dan Allah s.w.t kurniakan kepada mereka maksum, sementara yang tidak menjadi nabi dilantik sebagai wali-Nya yang diberi perlindungan dan pemeliharaan.
BERTAUBAT NASHUHA
Maksud taubat ialah kembali, iaitu kembali kepada Allah s.w.t. Orang yang melakukan dosa tercampak jauh daripada Allah s.w.t. Walaupun orang ini sudah berhenti melakukan dosa malah dia sudah melakukan amal ibadat dengan banyaknya namun, tanpa taubat dia tetap tinggal berjauhan dari Allah s.w.t. Dia telah masuk ke dalam golongan hamba yang melakukan amal salih tetapi yang berjauhan bukan berdekatan dengan Allah s.w.t. Taubat yang lebih halus ialah pengayatan kalimat:
“Laa Hau la wala quwata illa billah.”
Tiada daya dan upaya melainkan anugerah Allah s.w.t.
“Inna Lillillahi wa-inna ilai-irajiun”
Kami datang dari Allah s.w.t dan kepada Allah s.w.t kami kembali.
Segala sesuatu datangnya dari Allah s.w.t, baik kehendak maupun perbuatan kita. Sumber yang mendatangkan segala sesuatu adalah Uluhiyah (Tuhan) dan yang menerimanya adalah ubudiyah (hamba). Apa sahaja yang dari Uluhiyah adalah sempurna dan apa sahaja yang terbit dari ubudiyah adalah tidak sempurna. Uluhiyah membekalkan kesempurnaan tetapi ubudiyah tidak dapat melaksanakan kesempurnaan itu. Jadi, ubudiyah berkewajipan mengembalikan kesempurnaan itu kepada Uluhiyah dengan memohon ampunan dan bertaubat sebagai penebus semua kesalahan dan dosa. Segala urusan dikembalikan kepada Allah s.w.t. Semakin tinggi makrifat seseorang hamba semakin kuat ubudiyahnya dan semakin kerap dia memohon ampunan dari Allah s.w.t, mengembalikan setiap urusan kepada Allah s.w.t, sumber datangnya segala urusan.
Apabila hamba mengembalikan urusannya kepada Allah s.w.t maka Allah s.w.t sendiri yang akan mengajarkan Ilmu-Nya yang halus-halus agar kehendak hamba itu sesuai dengan Iradat Allah s.w.t, kuasa hamba sesuai dengan Kudrat Allah s.w.t, hidup hamba sesuai dengan Hayat Allah s.w.t dan pengetahuan hamba sesuai dengan Ilmu Allah s.w.t, dengan itu jadilah hamba mendengar karena Sama’ Allah s.w.t, melihat karena Basar Allah s.w.t dan berkata-kata karena Kalam Allah s.w.t. Apabila semuanya berkumpul pada seorang hamba maka jadilah hamba itu Insan Sirullah (Rahasia Allah s.w.t).
MAHA SUCI ALLAH YANG MENUTUPI RAHASIA KEISTIMEWAAN (PARA WALI) DENGAN DIPERLIHATKAN SIFAT KEMANUSIAAN BIASA KEPADA ORANG BANYAK DAN TERNYATA ITULAH KEBESARAN KETUHANAN ALLAH S.W.T DALAM MEMPERLIHATKAN SIFAT KEHAMBAAN (PADA PARA WALI-NYA).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar